Calon pimpinan KPK Ibnu Basuki Widodo menjalani uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi III DPR RI. Anggota Komisi III DPR Rudianto Lallo pun menyinggung masa lalu Ibnu yang pernah memvonis bebas dalam perkara korupsi.

Hal itu disinggung oleh Rudianto Lallo dalam tes uji kepatutan dan kelayakan, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (19/11/2024). Rudianto awalnya menyebut Ibnu dahulu pernah menjadi hakim yang bertugas di Jakarta.

"Jejak Pak Ibnu, sebagai mantan hakim, yang namanya hakim yang pernah bertugas di Jakarta, pastilah ibaratnya kelas 1," kata Rudianto.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dalam beberapa perkara yang Saudara tangani, termasuk di dalamnya pernah memvonis bebas terdakwa tipikor," tambahnya.

Rudianto mengatakan pengadilan memang bukan untuk menghukum orang, tapi untuk mencari keadilan. Namun Rudianto mengatakan tak ingin mendalami lebih lanjut terkait hal itu.

"Memang pengadilan itu bukan untuk menghukum orang pak, tapi mencari keadilan. Saya tak mau bertanya lebih jauh soal itu," kata dia.

Kemudian Rudianto melanjutkan dengan bertanya mengapa Ibnu memilih ingin menjadi pimpinan KPK. Namun bukan memilih menjadi hakim agung karena latar belakangnya.

"Kenapa lebih memilih mau menjadi koordinator penyelidik, penyidik, dan penuntut. Apa motifasi Bapak di situ?" kata dia.

Respons Capim KPK Ibnu

Merespons itu, Ibnu mengatakan motivasinya mendaftar capim karena tugas hakim dan KPK memiliki kesamaan. Yaitu memproses suatu perkara, salah satunya adalah perkara korupsi.

"Kita bertugas bersama, di dalam satu ruang sidang, dan kami menggunakan dasar hukum yang sama, kemudian dengan tujuan yang sama," kata dia.

Ibnu mengatakan, jika menjadi bagian dari KPK, bukan suatu perubahan yang besar. Sebab, tujuannya adalah sama-sama memberantas korupsi.

"'Untuk melakukan pemberantasan atau penindakan tindak pidana korupsi, sehingga bagi kami ini bukan suatu oper persneling atau misalnya bukan suatu perubahan yang luar biasa," kata dia.

"Yang jelas tujuannya adalah sama-sama untuk melakukan penanganan hukum tipikor," tambahnya.

Sebagai informasi, pada 2014, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis bebas terdakwa korupsi Ida Bagus Mahendra Jaya Marth. Putusan ini dibacakan majelis hakim yang diketuai Sinung Hermawan dengan anggota Ibnu Basuki Widodo dan Alexander Marwata.

Ida bagus diyakini tidak terbukti terlibat korupsi proyek pengadaan alat laboratorium IPA MTs di Kementerian Agama pada 2010. Ida Bagus disebutkan hanya dicatut namanya sebagai konsultan informasi teknologi dari PT Sean Hulbert Jaya.

Liputan6.com, Jakarta Bupati Kapuas Ben Brahim S Bahat dan istrinya, Ary Egahni Ben Bahat, ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai NasDem, Hermawi Taslim, membenarkan bahwa istri Bupati Kapuas merupakan anggota Komisi III DPR RI Fraksi NasDem. Partainya pun telah mengetahui status Ary Egahni Ben Bahat.

"Benar, istri Bupati Kapuas, anggota DPR RI dari NasDem. Beliau telah memberitahukan kepada partai atas status KPK terhadap dirinya. NasDem senantiasa menghormati proses hukum yang berjalan," kata Hermawi, saat dikonfirmasi, Selasa (28/3/2023).

Hermawi mengatakan, sesuai pakta integritas, Ary Egahni Ben Bahat telah menyatakan untuk mengundurkan diri dari Partai NasDem.

"Sesuai pakta integritas, yang bersangkutan telah menyatakan mengundurkan diri secara lisan, suratnya menyusul," kata Hermawi.

Status tersangka terhadap Ben Brahim dan Ary Egahni diumumkan KPK pada Selasa (28/3/2023). Keduanya diduga terlibat kasus korupsi saat menjalan tugas, yaitu meminta, menerima, dan memotong pembayaran kepada pegawai negeri atupun kepada kas umum.

"Seolah-olah memiliki utang pada penyelenggara negara tersebut, padahal diketahui hal tersebut bukanlah utang," ungkap Kabag Pemberitaan KPK, Ali Fikri.

Selain itu, kedua tersangka juga diduga menerima suap dari beberapa pihak terkait dengan jabatannya sebagai penyelenggara negara. Namun, belum ada penjelasan lebih lanjut mengenai konstruksi perkara yang dimaksud.

Ali mengatakan, Bupati Kapuas Ben Brahim S Bahat dan istrinya, Ary Egahni Ben Bahat sudah memenuhi panggilan tim penyidik. Keduanya tengah menjalani pemeriksaan.

"Kedua pihak yang telah ditetapkan tersangka, saat ini telah hadir di Gedung Merah Putih KPK. Masih sedang menjalani pemeriksaan sebagai tersangka oleh tim penyidik KPK di lantai 2," kata Ali.

Sepanjang tahun 2018, KPK telah melakukan OTT terhadap 19 kepala daerah.

Partai Amanat Nasional - Dapil DKI Jakarta I

Komisi VI - Perindustrian, UMKM, Ekonomi Kreatif, Pariwisata, dan Sarana Publikasi

Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Barat (NTB) kembali menetapkan empat tersangka baru kasus tindak pidana korupsi penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) Bank Syariah Indonesia (BSI). Dua tersangka di antaranya adalah anggota DPRD Lombok Tengah dari Fraksi PKS.

Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati NTB Efrien Saputera mengatakan keempat tersangka tambahan tersebut berinisial DR, MSZ, MS, dan M. Keempat tersangka merupakan pengusaha yang membeli hasi ternak dari peternak atau offtaker.

"Informasi sementara seperti itu," kata Efrien, Rabu (14/8/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam kasus ini, Kejati NTB total telah menetapkan sebanyak enam tersangka dalam kasus menyebabkan kerugian negara Rp 21,3 miliar tersebut. Namun, Efrien belum bisa berbicara terkait peran masing-masing tersangka.

Adapun anggota dewan yang ditetapkan jadi tersangka itu yakni Muhammad Sidik alias MS dan Mahrup alias M. Mereka berdua adalah wakil rakyat dari PKS.

Mahrup membenarkan statusnya sebagai tersangka. Dia menegaskan akan tetap mengikuti proses hukum yang ada.

"Saya sudah terima suratnya kemarin. Kami ikuti saja proses hukum yang ada," singkat Mahrup saat dihubungi detikBali, Rabu (14/8/2024) malam.

Mahrup juga membenarkan tersangka lain merupakan anggota DPRD dari partai yang sama inisial MS alias Muhammad Sidik dari Dapil VI Lombok Tengah.

"Benar Muhammad Siddik, yang anggota DPRD ada dua saja," cetus Mahrup.

"Kalau masalah kasus saya serahkan ke pengacara nanti dijelaskan sama beliau, nggih," tandasnya.

Mataram (ANTARA) - Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat mengungkap adanya dua anggota DPRD Lombok Tengah yang berstatus petahana inisial MS dan anggota dewan petahana terpilih kembali periode 2024-2029 inisial M, menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyaluran dana kredit usaha rakyat (KUR) pada Bank Syariah Indonesia (BSI) tahun 2021-2022.

Juru Bicara Kejati NTB Efrien Saputera dalam keterangan tertulis yang diterima di Mataram, Kamis, menyampaikan dua tersangka tersebut berinisial M dan MS.

"Kalau MS ini dulu pernah jadi anggota dewan di Lombok Tengah. Untuk sekarang yang terpilih lagi yang M, calon yang baru dan yang lama," kata Efrien.

Perihal peran keduanya dalam perkara ini sebagai offtaker atau pemasok kebutuhan program psngan. Perihal usaha yang dikembangkan, Efrien mengaku dirinya belum bisa mengungkap hal tersebut ke publik.

"Perannya? Masih kami telusuri, itu strategi penyidikan," ujarnya.

MS dan M menjadi tersangka bersama MSZ dan DR. Penetapannya dilaksanakan pada Senin (12/8). Efrien memastikan penyidik telah menemukan sedikitnya dua alat bukti dalam penetapan keempat tersangka.

"Pada intinya turut bersama-sama, ada PMH (perbuatan melawan hukum), ada dari keterangan saksi, ahli, hasil koordinasi dengan BPKP dan audit internal," ucap dia.

Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati NTB Elly Rahmawati sebelumnya mengungkapkan dua tersangka, pertama merupakan pejabat utama pada dua cabang kerja pada BSI wilayah NTB. Keduanya berinisial SE dan WKI.

"Jadi, dari dua penyidikan yang kami lakukan ini, peran SE adalah pejabat utama di salah satu cabang, dan WKI ini dari cabang lain. Mereka diduga menyalahgunakan kewenangan dalam penyaluran dana KUR," ujar Elly.

Meskipun enggan menyampaikan secara lengkap dua cabang kerja BSI yang masuk dalam penyidikan jaksa, namun Elly memastikan dugaan korupsi ini berkaitan dengan penyaluran dana KUR untuk kelompok tani yang memproduksi porang dan sapi di wilayah NTB.

"Pokoknya ada penyimpangan, ada yang fiktif ada yang tidak, itu terkait (dana KUR) sapi dan porang," katanya.

Elly menyampaikan bahwa dalam penetapan tersangka ini penyidik telah menemukan indikasi perbuatan melawan hukum dan potensi kerugian keuangan negara.

"Untuk penyaluran di Mataram itu ada kerugian Rp8,3 miliar. Cabang satunya lagi, indikasi kerugiannya Rp13 miliar. Cuma untuk pastinya, tunggu hasil BPKP," ucap dia.

Untuk menguatkan nilai kerugian, Elly mengatakan pihaknya sudah menggandeng Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB.

"Karena pasal yang kami sangkakan terhadap kedua tersangka ini berkaitan dengan pasal 2 dan 3 undang-undang tipikor, sehingga kami harus memenuhi unsur kerugian keuangan negara dengan melakukan koordinasi dan secara intensif dan berikan data ke auditor BPKP," katanya.